Minggu, 05 Juni 2011

Puisi-Puisi Fenomenal Karya Chairil Anwar


KRAWANG-BEKASI


Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?


Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.


Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa


Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan


Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata


Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak


Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir


Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian


Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi 

DIPONEGORO


Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api


Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.


MAJU


Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.


Sekali berarti
Sudah itu mati.


MAJU


Bagimu Negeri
Menyediakan api.


Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai


Maju
Serbu
Serang
Terjang  


AKU


Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau


Tak perlu sedu sedan itu


Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang


Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang


Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri


Dan aku akan lebih tidak perduli


Aku mau hidup seribu tahun lagi 



DOA


kepada pemeluk teguh


Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu


Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh


cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi


Tuhanku


aku hilang bentuk
remuk


Tuhanku


aku mengembara di negeri asing


Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling


SAJAK PUTIH


Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda


Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku


Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah... 

Pembahasan Puisi
a. Puisi Aku
Pada puisi di atas merupakan eskpresi jiwa penyair yang menginginkan kebe
Pada puisi di atas merupakan eskpresi jiwa penyair yang menginginkan kebebasan dari semua ikatan. Di sana penyair tidak mau meniru atau menyatakan kenyataan alam, tetapi mengungkapkan sikap jiwanya yang ingin berkreasi. Sikap jiwa “jika sampai waktunya”, ia tidak mau terikat oleh siapa saja, apapun yang terjadi, ia ingin bebas sebebas-bebasnya sebagai “aku”. Bahkan jika ia terluka, akan di bawa lari sehingga perih lukanya itu hilang. Ia memandang bahwa dengan luka itu, ia akan lebih jalang, lebih dinamis, lebih vital, lebih bergairah hidup. Sebab itu ia malahan ingin hidup seribu tahun lagi.

Uraian di atas merupakan yang dikemukakan dalam puisi ini semuanya adalah sikap chairil yang lahir dari ekspresi jiwa penyair. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada pembahasan puisi “aku”.
Pembahasan
Aliran ekspresionalisme pada “aku”
karya Chairi Anwar
Aku
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ’kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar perlu menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku ingin hidup seribu tahun lagi
(DCD, 1959:7)
Bahasan yang akan saya uraikan tentang puisi aku ini akan lebih mengedepankan pada ekspresionalisme jiwa Khairil Anwar yang merupakan daya ekspresinya. Kalau si aku meninggal, ia menginginkan jangan ada seorang pun yang bersedih “merayu”, bahkan kekasih atau istrinya. Tidak perlu juga ada “sedu sedan” yang meratapi kematian si aku sebeb tidak ada gunannya. Si aku ini adalah binatang jalang yang lepas bebas, yang terbuang dari kelompoknya , ia merdeka tidak mau terikat oleh aturan-aturan yang mengikat, bahkan meskipun ia di tembak, terhadap aturan-aturan yang mengikat tersebut. Segala rasa sakit dan penderitaan akan ditanggungkan, ditahan, diatasinya, hingga rasa sakit dan penderitaan itu pada akhirnya akan hilang sendiri
Si aku makin akan tidak peduli pada segala aturan dan ikatan, halangan, serta penderitaan. Si aku “ingin hidup seribu tahun lagi”, makksudnya secara kiassan, si aku menginginkan semangatnya, pikirannya, karya-karyanya akan hidup selama-lamanya.
Secara struktural dengan melihat hubungan antara unsur-unsur dan keseluruhannya, juga berdasarkan kiasan-kiasan yang terdapat didalamnya, maka dapat ditafsirkan bahwa dalam sajak ini dikemukankan ide kepribadian bahwa orang itu harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. “Ku mau tak seorang kan merayu”. Orang lain hendaknya jangan campur tangan akan nasibnya, baik dalam suka maupun duka, maka “tak perlu seduh sedan itu”. Semua masalah pribadi itu urusan sendiri. Dikemukakan secara ekstrim bahwa si aku itu seorang yang sebebas-bebasnya (sebagai binatang jalang), tak mau di batasi oleh aturan-aturan yang mengikat. Dengan penuh semangat si aku akan mengahadapi segala rintangan “tebusan peluru”, “bisa dan luka” dengan kebebasnya yang makin mutlak itu. Makin banyak rintangan makin tak memperdulikannya sebab hanya dengan demikian, ia akan dapat berkarya yang bermutu sehingga pikirannya dan semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya, jauh melebihi umur manusia. “aku ingin hidup seribu tahun lagi”, berdasarkan dasar konteks itu harus ditafsirkan sebagai kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah semangatnya bukan fisik.
Dalam sajak ini kemantapan pikiran dan semangat selain ditandai dengan pemilihan kata yang menunjukan ketegasan seperti “ku mau, tak perlu sedu sedan itu, aku tetap meradang, aku akan tetap meradang, aku lebih tak peduli, dan aku mau hidup seribu tahun lagi”. Pernyataan diri sebagai binatang jalang adalah kejujuran yang besar, berani melihat diri sendiri dari segi buruknya. Efeknya membuat orang tidak sombong terhadap kehebatan ini sendiri sebab selain orang lain orang mempunyai kehebatan juga ada cacatnya, ada segi jelek dalam dirinya.
Si aku ini adalah manusia yang terasing, keterasingannya ini memang disengaja oleh dirinya sendiri sebagai pertanggung jawaban pribadi “ku mau tak seorang ‘kan merayu , tidak juga kau”. Hal ini karena si kau adalah manusia bebas yang tak mau terikat kepada orang lain “aku ini binatang jalang/ Dari kumpulannya terbuang”. Dan si aku ini menentukan “nasibnya” sendiri, tak terikat oleh kekuasaan lain “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Pengakuan dirinya sebagai binatang jalang dan penentuan nasib sendiri “aku mau hidup seribu tahun lagi” adalah merupakan sikap revolusioner terhadap paham dan sikap pandangan para penyair yang mendahuluinya.
Dalam sajak ini intensitas pernyataan dinyatakan dengan sarana retorika yang berupa hiperbola, dikombinasi dengan ulangan, serta diperkuat oleh ulangan bunyi vokal a dan u ulangan bunyi lain serta persajakan akhir seperti telah dibicarakan di atas.
Hiperbola tersebut :
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar perlu menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
………
Aku ingin hidup seribu tahun lagi
Gaya tersebut disertai ulangan i-i yang lebih menambah intensitas :
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku ingin hidup seribu tahun lagi
Dengan demikian jelas hiperbola tersebut penonjolan pribadi tampa makin nyata disana ia mencoba untuk nyata berada di dalan dunianya.
Sajak ini menimbulkan banyak tafsir, yang bersifat ambiguitas hal ini disebabkan ketaklangsungan ucapan dengan cara bermacam-macam. Semuanya itu untuk menarik perhatian, untuk menimbulkan pemikiran, dan untuk memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari proeses pemilihan ke poros kombinasi. “kalau samapai waktuku” dapat berarti “kalau aku mati”, “tak perlu sedu sedan “ “berarti tak ada gunannya kesedihan itu”. Tidak juga kau” dapat berarti “tidak juga engkau anaku, istriku, atau kekasihku”.
Semua itu menurut konteksnya. Jadi ambiguitas arti ini memperkaya arti sajak itu. Ambiguitas arti itu juga disebabkan oleh pengantian arti, yaitu dalam sajak ini banyak dipergunakan bahasa kiasan, disini banyak dipergunakan metafora, baik metafora penuh mauapun implicit. Metafora penuh seperti “aku ini binatang jalang “. Maksudnya, si aku itu sepeerti binatang jalang yang bebas lepas tidak terikat oleh ikatan apapun. Metafora implicit seperti “peluru, luka dan bisa, pedih peri”. “peluru” untuk mengkiaskan serangan, siksaan, halangan, ataupun rintangan. Meskipun si aku terhembus peluru, mendapat siksaan, mendapat siksaan, rintangan, serangan, ataupun halangan-halangan, ia tetap akan meradang, menerjang: melawan dengan keras, berbuat nekat demi kebenarannya. “luka dan bisa” untuk mengkiaskan penderitaan yang didapat yang menimpa. “pedih peri” kengkiaskan kesakitan, kesedihan atau penderitaan akibat tembusan peluru di kulit si aku (halangan, rintangan, serangan, ataupun siksaan).
Dengan kiasan-kiasan itu gambaran menjadi konkrit, berupa citra-citra yang dapat diindra, gambaran menjadi nyata, seolah dapat dilihat, dirasakan sakitnya. Di samping itu kiasa-kiasan tersebut menyebabkan kepadatan sajak. Untuk menyatakan semangat yang nyala-nyala untuk merasakan hidup yang sebanyak-banyaknya digunakan kiasan “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Jadi, di sini kelihatan gambaran bahwa si aku penuh vetalitas mau mereguk hidup ini selama-lamanya.
Penyimpangan arti dan penggantian arti itu menyebabkan sajak “aku” ini dapat tafsirkan bermacam-macam sesuai dengan saran kata-kata dan kalimatnya. Hal ini menyebabkan sajak ini selalu “baru” setiap dibaca dengan tafsiran-tafsiran baru yang memperkaya arti sajak ini, yang ditimbulkan oleh kemampuan struktur sajak ini yang menjadi dinamis oleh ambiguitasnya.
Kesimpulan
Dari ulasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap seniman atau sastrawan dalam
membuat suatu karyanya dapat menggunakan berbagai macam caranya. Salah satu caranya
dengan mengekspresikan karyanya sebagai gundahan, gejolak, pengalaman, bayang-bayang
yang sebagai media penyaluran karyanya untuk dapat dinikmati oleh umum.
Kiasan-kiasan yang dilontarkan oleh Chair Anwar dalam puisinya menunjukan bahwa di dalam dirinya mencoba memetaforakan akan bahasa yang digunakan yang bertujuan mencetusan langsung dari jiwa. Cetusan itu dapat bersifat mendarah daging, seperti sajak “aku”. Dengan kiasan-kiasan itu gambaran menjadi konkrit, berupa citra-citra yang dapat diindra, gambaran menjadi nyata, seolah dapat dilihat, dirasakan sakitnya. Di samping itu kiasa-kiasan tersebut menyebabkan kepadatan sajak. Untuk menyatakan semangat yang nyala-nyala untuk merasakan hidup yang sebanyak-banyaknya digunakan kiasan “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Jadi, di sini kelihatan gambaran bahwa si aku penuh vetalitas mau mereguk hidup ini selama-lamanya. Jadi berdasarkan dasar konteks itu harus ditafsirkan bahwa Chairil Anwar dalam puisi “aku” dapat didefinisaikan sebagai bentuk pemetaforaan bahasa atau kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah semangatnya bukan fisik.
g bersifat emosional adalah cirri-ciri kaum romantisme.
Sajak ekspresionalisme tidak mengambarkan alam atau kenyataan, juga bukan penggambarann kesan terhadap alam atau kenyataan, tetapi cetusan langsung dari jiwa. Cetusan itu dapat bersifat mendarah daging, seperti sajak “aku” karya Chairil Anwar di bawah ini.
Aku
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ’kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar perlu menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku ingin hidup seribu tahun lagi
(DCD, 1959:7)
Pada puisi di atas merupakan eskpresi jiwa penyair yang menginginkan kebebasan dari semua ikatan. Di sana penyair tidak mau meniru atau menyatakan kenyataan alam, tetapi mengungkapkan sikap jiwanya yang ingin berkreasi. Sikap jiwa “jika sampai waktunya”, ia tidak mau terikat oleh siapa saja, apapun yang terjadi, ia ingin bebas sebebas-bebasnya sebagai “aku”. Bahkan jika ia terluka, akan di bawa lari sehingga perih lukanya itu hilang. Ia memandang bahwa dengan luka itu, ia akan lebih jalang, lebih dinamis, lebih vital, lebih bergairah hidup. Sebab itu ia malahan ingin hidup seribu tahun lagi.
Uraian di atas merupakan yang dikemukakan dalam puisi ini semuanya adalah sikap chairil yang lahir dari ekspresi jiwa penyair. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada pembahasan puisi “aku”.
Pembahasan
Aliran ekspresionalisme pada “aku”
karya Chairi Anwar
Aku
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ’kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar perlu menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku ingin hidup seribu tahun lagi
(DCD, 1959:7)
Bahasan yang akan saya uraikan tentang puisi aku ini akan lebih mengedepankan pada ekspresionalisme jiwa Khairil Anwar yang merupakan daya ekspresinya. Kalau si aku meninggal, ia menginginkan jangan ada seorang pun yang bersedih “merayu”, bahkan kekasih atau istrinya. Tidak perlu juga ada “sedu sedan” yang meratapi kematian si aku sebeb tidak ada gunannya. Si aku ini adalah binatang jalang yang lepas bebas, yang terbuang dari kelompoknya , ia merdeka tidak mau terikat oleh aturan-aturan yang mengikat, bahkan meskipun ia di tembak, terhadap aturan-aturan yang mengikat tersebut. Segala rasa sakit dan penderitaan akan ditanggungkan, ditahan, diatasinya, hingga rasa sakit dan penderitaan itu pada akhirnya akan hilang sendiri
Si aku makin akan tidak peduli pada segala aturan dan ikatan, halangan, serta penderitaan. Si aku “ingin hidup seribu tahun lagi”, makksudnya secara kiassan, si aku menginginkan semangatnya, pikirannya, karya-karyanya akan hidup selama-lamanya.
Secara struktural dengan melihat hubungan antara unsur-unsur dan keseluruhannya, juga berdasarkan kiasan-kiasan yang terdapat didalamnya, maka dapat ditafsirkan bahwa dalam sajak ini dikemukankan ide kepribadian bahwa orang itu harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. “Ku mau tak seorang kan merayu”. Orang lain hendaknya jangan campur tangan akan nasibnya, baik dalam suka maupun duka, maka “tak perlu seduh sedan itu”. Semua masalah pribadi itu urusan sendiri. Dikemukakan secara ekstrim bahwa si aku itu seorang yang sebebas-bebasnya (sebagai binatang jalang), tak mau di batasi oleh aturan-aturan yang mengikat. Dengan penuh semangat si aku akan mengahadapi segala rintangan “tebusan peluru”, “bisa dan luka” dengan kebebasnya yang makin mutlak itu. Makin banyak rintangan makin tak memperdulikannya sebab hanya dengan demikian, ia akan dapat berkarya yang bermutu sehingga pikirannya dan semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya, jauh melebihi umur manusia. “aku ingin hidup seribu tahun lagi”, berdasarkan dasar konteks itu harus ditafsirkan sebagai kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah semangatnya bukan fisik.
Dalam sajak ini kemantapan pikiran dan semangat selain ditandai dengan pemilihan kata yang menunjukan ketegasan seperti “ku mau, tak perlu sedu sedan itu, aku tetap meradang, aku akan tetap meradang, aku lebih tak peduli, dan aku mau hidup seribu tahun lagi”. Pernyataan diri sebagai binatang jalang adalah kejujuran yang besar, berani melihat diri sendiri dari segi buruknya. Efeknya membuat orang tidak sombong terhadap kehebatan ini sendiri sebab selain orang lain orang mempunyai kehebatan juga ada cacatnya, ada segi jelek dalam dirinya.
Si aku ini adalah manusia yang terasing, keterasingannya ini memang disengaja oleh dirinya sendiri sebagai pertanggung jawaban pribadi “ku mau tak seorang ‘kan merayu , tidak juga kau”. Hal ini karena si kau adalah manusia bebas yang tak mau terikat kepada orang lain “aku ini binatang jalang/ Dari kumpulannya terbuang”. Dan si aku ini menentukan “nasibnya” sendiri, tak terikat oleh kekuasaan lain “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Pengakuan dirinya sebagai binatang jalang dan penentuan nasib sendiri “aku mau hidup seribu tahun lagi” adalah merupakan sikap revolusioner terhadap paham dan sikap pandangan para penyair yang mendahuluinya.
Dalam sajak ini intensitas pernyataan dinyatakan dengan sarana retorika yang berupa hiperbola, dikombinasi dengan ulangan, serta diperkuat oleh ulangan bunyi vokal a dan u ulangan bunyi lain serta persajakan akhir seperti telah dibicarakan di atas.
Hiperbola tersebut :
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar perlu menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
………
Aku ingin hidup seribu tahun lagi
Gaya tersebut disertai ulangan i-i yang lebih menambah intensitas :
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku ingin hidup seribu tahun lagi
Dengan demikian jelas hiperbola tersebut penonjolan pribadi tampa makin nyata disana ia mencoba untuk nyata berada di dalan dunianya.
Sajak ini menimbulkan banyak tafsir, yang bersifat ambiguitas hal ini disebabkan ketaklangsungan ucapan dengan cara bermacam-macam. Semuanya itu untuk menarik perhatian, untuk menimbulkan pemikiran, dan untuk memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari proeses pemilihan ke poros kombinasi. “kalau samapai waktuku” dapat berarti “kalau aku mati”, “tak perlu sedu sedan “ “berarti tak ada gunannya kesedihan itu”. Tidak juga kau” dapat berarti “tidak juga engkau anaku, istriku, atau kekasihku”.
Semua itu menurut konteksnya. Jadi ambiguitas arti ini memperkaya arti sajak itu. Ambiguitas arti itu juga disebabkan oleh pengantian arti, yaitu dalam sajak ini banyak dipergunakan bahasa kiasan, disini banyak dipergunakan metafora, baik metafora penuh mauapun implicit. Metafora penuh seperti “aku ini binatang jalang “. Maksudnya, si aku itu sepeerti binatang jalang yang bebas lepas tidak terikat oleh ikatan apapun. Metafora implicit seperti “peluru, luka dan bisa, pedih peri”. “peluru” untuk mengkiaskan serangan, siksaan, halangan, ataupun rintangan. Meskipun si aku terhembus peluru, mendapat siksaan, mendapat siksaan, rintangan, serangan, ataupun halangan-halangan, ia tetap akan meradang, menerjang: melawan dengan keras, berbuat nekat demi kebenarannya. “luka dan bisa” untuk mengkiaskan penderitaan yang didapat yang menimpa. “pedih peri” kengkiaskan kesakitan, kesedihan atau penderitaan akibat tembusan peluru di kulit si aku (halangan, rintangan, serangan, ataupun siksaan).
Dengan kiasan-kiasan itu gambaran menjadi konkrit, berupa citra-citra yang dapat diindra, gambaran menjadi nyata, seolah dapat dilihat, dirasakan sakitnya. Di samping itu kiasa-kiasan tersebut menyebabkan kepadatan sajak. Untuk menyatakan semangat yang nyala-nyala untuk merasakan hidup yang sebanyak-banyaknya digunakan kiasan “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Jadi, di sini kelihatan gambaran bahwa si aku penuh vetalitas mau mereguk hidup ini selama-lamanya.
Penyimpangan arti dan penggantian arti itu menyebabkan sajak “aku” ini dapat tafsirkan bermacam-macam sesuai dengan saran kata-kata dan kalimatnya. Hal ini menyebabkan sajak ini selalu “baru” setiap dibaca dengan tafsiran-tafsiran baru yang memperkaya arti sajak ini, yang ditimbulkan oleh kemampuan struktur sajak ini yang menjadi dinamis oleh ambiguitasnya.
Kesimpulan
Dari ulasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap seniman atau sastrawan dalam
membuat suatu karyanya dapat menggunakan berbagai macam caranya. Salah satu caranya
dengan mengekspresikan karyanya sebagai gundahan, gejolak, pengalaman, bayang-bayang
yang sebagai media penyaluran karyanya untuk dapat dinikmati oleh umum.
Kiasan-kiasan yang dilontarkan oleh Chair Anwar dalam puisinya menunjukan bahwa di dalam dirinya mencoba memetaforakan akan bahasa yang digunakan yang bertujuan mencetusan langsung dari jiwa. Cetusan itu dapat bersifat mendarah daging, seperti sajak “aku”. Dengan kiasan-kiasan itu gambaran menjadi konkrit, berupa citra-citra yang dapat diindra, gambaran menjadi nyata, seolah dapat dilihat, dirasakan sakitnya. Di samping itu kiasa-kiasan tersebut menyebabkan kepadatan sajak. Untuk menyatakan semangat yang nyala-nyala untuk merasakan hidup yang sebanyak-banyaknya digunakan kiasan “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Jadi, di sini kelihatan gambaran bahwa si aku penuh vetalitas mau mereguk hidup ini selama-lamanya. Jadi berdasarkan dasar konteks itu harus ditafsirkan bahwa Chairil Anwar dalam puisi “aku” dapat didefinisaikan sebagai bentuk pemetaforaan bahasa atau kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah semangatnya bukan fisik.
b. Puisi Do'a
Berbicara mengenai lapis makna suatu puisi yang membicarakan tentang unsur intrinsik atau tubuh puisi tersebut, kita tidak bisa terlepas dari unsur yang berada di luar struktur tersebut (unsur intrinsik). Berkaitan dengan puisi Chairil Anwar ini, perlu dijelaskan sedikit mengenai sejarah penulisan puisi ini. Ketika menulis puisi ini, Chairil Anwar melalui aku lirik menceritakan pengalamannya yang telah melakukan suatu dosa atau kesalahan yang membuat ia merasa jauh dari Tuhannya. Tetapi, walau bagaimanapun, sebagai makhluk ciptaan Tuhan, tiada lagi tempat berpaling selain kepada-Nya.
Chairil Anwar mengawali puisinya ini dengan kata Tuhanku. Sama seperti seorang hamba yang bila berdoa sering kali menyebut kata-kata pujian atau apa pun yang berkaitan dengan Tuhannya. Misalnya, dalam agama Islam, sering muncul dalam doa ucapan seperti yaa Allah atau yaa Rabbi. Begitu pula Chairil melalui si aku lirik menyebut Tuhanku. Ini menguatkan judul puisi Chairil Anwar yang memang tengah memanjatkan doa kepada Tuhan aku lirik. Bahkan kata Tuhanku ini diulang-ulang Chairil sampai empat kali dan itu pun selalu berdiri sendiri tanpa didampingi oleh kata-kata lain. Ini dapat berarti dua hal, pertama, Tuhan tidak dapat disejajarkan dengan apa pun. Kedua, untuk memperkuat kekhusyukan aku lirik dalam berdoa.
Dalam termangu
Aku masih mengingat namaMu
Ini menunjukkan keteguhan hati aku lirik yang benar-benar mengingat Tuhannya, walau dalam termangu sekali pun. Untuk memperkuat hal itu, Chairil pun menambahkan biar susah sungguh/ menyebut kau penuh seluruh. Aku lirik, ketika menyebut nama Tuhannya, tak sedikit pun dalam pikirannya terbersit untuk memikirkan hal lain yang dapat merusak kedekatan dengan Tuhannya itu.
Bait pertama puisi ini juga dapat berarti prolog sebuah doa. Mengapa saya katakan sebagai prolog? Dalam setiap doa seorang hamba kepada Tuahnnya, pujian kepada Tuhan biasa diucapkan pendoa. Kembali kita ambil contoh orang Islam. Orang Islam biasa memulai doanya dengan ucapan alhamdulillah yang notabene merupakan pujian kepada Allah. Selanjutnya pendoa mengucapkan pujian-pujian lain dan terima kasih pendoa atas segala yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Sebuah awal yang mirip basa-basi. Barulah kemudian pendoa mengeluarkan keluhannya dan segala permohonan yang diinginkannya. Rupanya Chairil menghafal tata cara berdoa seperti ini yang merupakan cara berdoa konvensional dan berlaku bagi semua makhluk (manusia) di dunia. Ini dimaksud agar terjalin sinergitas dan kedekatan antara Tuhan dengan hambanya.
Tetapi, benar-benar ingatkah aku lirik pada Tuhannya? Manusia tidak pernah luput dari salah dan dosa. Begitu pula aku lirik. Ia pun pernah melakukan kesalahan yang menurutnya seakan-akan membuat ia merasa jauh dari Tuhannya. Bahkan cahaya Tuhan yang panas suci memancar hanya tinggal kerdip lilin saja pada aku lirik. Tertutup oleh dosa yang telah diperbuatnya itu.
Chairil sadar bahwa akibat dosanya itu ia seakan merasa bahwa ia sudah hilang bentuk dan remuk. Ia tak mengenali dirinya lagi.
Akibat dari perbuatannya itu, ia merasa bahwa dirinya telah jauh dari Tuhannya. Aku mengembara di negeri asing kata Chairil melalui aku lirik, mengenang perbuatannya itu. Asing, karena apa yang dikerjakannya itu bertentangan dengan apa yang sudah diperintahkan Tuhannya.
Akan tetapi, bila sudah begitu, apakah aku lirik akan terus mengurung diri dalam kubangan dosanya? Tidak! Ia harus kembali kepada Tuhannya karena tidak ada tempat berpaling lagi jika bukan padaNya. Oleh karena itu, di akhir puisinya, Chairil menuliskan Di pintuMu aku mengetuk// Aku tidak bisa berpaling.
Memang seperti kita ketahui selama hidupnya, Chairil Anwar dikenal sebagai seorang sastrawan yang bohemian. Artinya, hidupnya terkesan hura-hura. Sehingga dari kehidupannya itu ia merasa bahwa ia telah melakukan kesalahan yang membuat ia merasa jauh dari Tuhannya. Inilah yang melatarbelakangi munculnya sajak Chairil Anwar berjudul “Doa” ini.
c. Puisi Diponegoro


Tema: Patriotisme perjuangan Diponegoro (sesuai judul)


Makna/Isi: Menggambarkan perjuangan Diponegoro di medan perang, berjuang demi tanah air dan kemerdekaan. Beliau tak gentar meskipun musuh jauh lebih banyak.


Pesan: Menghimbau pada generasi muda untuk menghayati lagi semangat perjuangan para pahlawan (dalam hal ini: Diponegoro) dan menerapkannya di era pembangunan dan teknologi sekarang ini.


Parafrase: biasanya dilakukan dengan (seolah-olah) memunculkan kata-kata dan kalimat yang sengaja dihilangkan oleh pengarang puisi, sehingga bentuk puisi hilang samasekali dan menjadi lebih bebas menyerupai prosa.
Misalnya:


DIPONEGORO


Di masa pembangunan (, jaman modern sekarang) ini
tuan (seolah-olah) hidup kembali
Dan bara kagum (di hatiku) menjadi api (semangat yang menyala-nyala)
(teringat patriotisme perjuangan merebut kemerdekaan dahulu)
(saat itu) Di (barisan paling) depan sekali tuan menanti (,siap menyerang)
Tak gentar. (meskipun) Lawan banyaknya seratus kali.
(dengan) Pedang di (tangan) kanan, (dan) keris di (tangan) kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.


(memekik:) “MAJU”


(Lihatlah) Ini barisan (Diponegoro meskipun) tak bergenderang-berpalu
(hanya berbekal) Kepercayaan (sebagai) tanda (untuk serempak) menyerbu.


(hidup ini hanya) Sekali (buat jadi) berarti
Sudah itu (semua manusia pasti akan) mati.


(satu pekikan lagi: ) “MAJU
(menunjukkan)
(semangat dan kecintaan) Bagimu Negeri (tanah air, memperjuangkan kemerdekaan)
Menyediakan (modal) api (semangat yang tak putus-putus).
(Diponegoro memiliki slogan/ semboyan bahwa)
(manusia merdeka, memilih) Punah di atas (/daripada harus) menghamba
(lebih baik) Binasa di atas (/ daripada hidup) ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru (benar-benar) tercapai
Jika (meskipun) hidup harus merasai (penindasan)




(Maka pasukan itu pun menyerang tanpa ragu-ragu, menghancurkan musuh sebanyak yang mereka mampu)
(Pekik pendorong semangat terdengar di mana-mana)di bawahnya lagi, kautambahkan bebas sebagai penunjang prosa dan kesatuan dengan bait pembukanya, bagaimana aplikasi semangat perjuangan Diponegoro di jaman modern sekarang ini.


d. Pembahasan Puisi Sajak Putih

Baris-baris awal pada sajak putih sangat jelas terdapat hubungan yang erat.
Bersandar pada tari warna pelangi, Kau depanku bertudung sutra senja, Di hitam matamu kembang mawar dan melati, Harum rambutmu mengalun bergelut senda. Disini penyair melihat kekasihnya dengan mengajaknya berinteraksi walaupun hanya batin yang berperan. Ditengah keindahan suasana yang membuat pengarang dimabuk panah cinta. Segala sisi kecantikan dari si dia dilukiskan dengan indah, mulai dari mata yang diisnpirasikan dengan keharuman bunga melati dan rambut yang menyibak wajah si-aku (pengarang) perlahan-lahan.


Keterkaian bait kedua dengan sebelumnya juga saya rasakan kata sepi menyanyi itu tergambar ekspresi si-aku yang kegirangan dengan perasaan hatinya. Benar-benar pengarang terhanyut dalam jiwanya, seolah-olah tidak mau menanggapi lingungkan sekitarnya. Hidup pengarang ditentukan oleh keputusan dari si-dia Hidup dari hidupku, pintu terbuka, Selama matamu bagiku menengadah, dari diri si-aku sudah menghapus segala kekurangan yang dimilikinya. Jikalau si-dia tidak meu menerima cintanya, betapa hancurnya jiwa si-aku sehingga hidupun enggan. Antara kita mati datang tidak membelah…


2. Ide Transformasi
Puisi merupakan ide transformasi dari pengarang untuk disampaikan kepada pembaca. Struktur tidaklah harus tepat dengan yang dibuat oleh pengarang. Struktur yang dibuat oleh pengarang bisa diinprove sesuai metode yang telah ada sehingga pembaca dapat memahami isi puisi itu dengan jelas.


Pada bait pertama terdapat kalimat Kau depanku bertudung sutra senja ,dan Harum rambutmu mengalun bergelut senda keduaya sama-sama mempunyai struktur subyek-predikat-pelengkap. Keduanya bisa ditransformasikan menjadi kau berada didepan chairil waktu sore hari dan rambutmu melambai-lambai di waktu senja.


Pada bait kedua lirik Dan dalam dadaku memerdu lagu, Menarik menari seluruh aku. Bisa dirubah dengan dan dalam dada chairil melantunkan sebuah lagu dan menarik seluruh tubuh chairl.
Hidup dari hidupku, pintu terbuka, Selama matamu bagiku menengadah, Selama kau darah mengalir dari luka, Antara kita mati datang tidak membelah…dalam sajak aslinya penggunaan diksinya terkesan kaku agar tidak menjadi suatu hal yeng menjemukan bisa diubah menjadi Selama kau didekatu darah ini akan tetap mengalir. Walau kematian datang kita takkan berpisah.


3. Ide Pengaturan Diri Sendiri (Self-Regulation)
Kebebasan diri merupakan faktor yang harus diperhatikan, karena ekspresi pengarang akan tampak fulgar dengan adanya itu. Demikian juga dalam tubuh puisi yang terdapat suatu system pengaturan diri sendiri sehingga kita tidak membutuhkan hal lain untuk mematok suatu karya.
Sajak putih bisa kita rubah dengan ide-ide kita tanpa harus merubah struktur puisi tersebut. Ini dilakukan supaya pembaca dapat mengerti makna struktural secara jelas bukan samar-samar lagi.


Disuatu senja kau berada di depanku,
dan bersandar pada alam yang berhiaskan dengan warna-warni pelangi.
Dalam matamu yang hitam bagaikan bunga mawar dan melati.
Sedang rambutmu yang harum ditiup angin melambai-lambai..


Tiba-tiba suasana menjadi heningi, seperti malam saat kita berdoa. Kesepian ini membuat jiwaku bergerak bagai permukaan air kolam yang beriak..
Dalam keadaan itu, di dadaku melantun lagu yang merdu.
Menarik seluruh tubuhku.


Aku masih hidup jika pintu hatimu terbuka , selama kau masih menengadahkan wajahmu padaku.
Darahku akan terus mengalir walau dalam duka asal kau tetap ada disampingku. Walaupun kematian datang kita berdua tak kan berpisah.

2 komentar:

Titan_Oktav mengatakan...

good article.. :-)

miftahulum89 mengatakan...

thnks titan

Posting Komentar