Selasa, 28 Februari 2012

KEBENARAN PENGETAHUAN



Kata Pilatus kepada Yesus: "Apakah kebenaran itu?".  Sesudah mengatakan demikian, keluarlah Pilatus lagi mendapatkan orang-orang Yahudi dan berkata kepada mereka: "Aku tidak mendapati kesalahan apapun padaNya."
                                                   Injil Yohanes 18: 38


1.  Pengetahuan dapat dimengerti sebagai kesadaran subyek pengenal tentang obyek yang dikenalinya.  Kesadaran itu diperoleh dengan bantuan peralatan pengumpulan data yang sesuai.  Pengetahuan tersebut dapat subyektif, dapat pula bersifat obyektif.  Disebut subyektif jika aneka pandangan, faham dan selera yang ada pada subyek pengenal berperan besar, langsung atau tak langsung, dalam proses mendapatkan kesadaran tersebut.  Sebaliknya disebut obyektif, jika unsur-unsur yang bersifat spesifik ada pada diri subyek pengenal tersebut tidak ada.

Dalam keseluruhan proses pengetahuan ada dua hal penting, yaitu evidensi dan kepastian.  Evidensi terletak pada fihak obyek, sedang kepastian ada pada fihak subyek.  Evidensi dapat dimengerti sebagai daya obyek untuk menampakkan diri, sedang kepastian adalah keyakinan pada diri subyek bahwa yang dikenalnya adalah benar-benar obyek yang ingin diketahuinya.  Keduanya perlu dilihat dari sudut kesatuan asli subyek dan obyek dalam gejala pengetahuan manusia pada umumnya. 

Makin dekat bidang ilmu itu pada pengalaman manusia seutuhnya, makin besarlah kesatuan subyek dan obyek, dan makin besar pulalah peran subyek dalam kesatuan subyek-obyek tersebut.  Dalam arti itu evidensi dan kepastian sangat diwarnai oleh subyektivitas.  Sebaliknya, makin jauh bidang ilmu itu dari pengalaman manusia seutuhnya, makin kurang kesatuan antara subyek dan obyek, dan makin kuranglah pula peran subyek didalamnya.   Dalam hal itu evidensi dan kepastian diwarnai oleh obyektivitas, yang ditentukan dari luar pengalaman.

2.  Kebenaran berkedudukan dalam diri si pengenal.  Kebenaran adalah kenyataan adanya ("being") yang menampakkan diri sampai masuk akal.  Maka kebenaran dapat dimengerti sebagai penyamaan akal dengan kenyataan.  Itu terjadi pada taraf inderawi atau pada taraf akal-budi, akan tetapi tidak pernah sampai pada kesamaan yang sempurna.  Ilmu-ilmu empiris mencoba mengejar kesamaan itu dengan aneka cara yang khas ada pada ilmu itu.  Ilmu-ilmu pasti tidak langsung berkecimpung dalam usaha manusia menuju kebenaran tersebut, tetapi ilmu-ilmu pasti dapat memberi sumbangan positif kepada ilmu-ilmu di luar ilmu itu untuk makin dekat kepada kebenaran sejati (apapun itu sesungguhnya).

Thomas Aquinas (seraya mengakui sumbangan para filsuf Yahudi dan Islam yang mendahuluinya) membedakan veritas ontologica (kebenaran ontologis) dari veritas logica (kebenaran logis).  Yang pertama terdapat dalam kenyataan (entah spiritual maupun material) yang masih lepas dari gejala pengetahuan, meskipun ada kemungkinan bahwa akan diketahui atau dikenal.  Yang kedua terikat kepada akal si pengenal.  Yang kedua inilah kebenaran dalam arti sesungguhnya, yaitu penyamaan akal dengan kenyataan.

Adalah Descartes yang menambahkan kriterium bagi kebenaran.  Cara untuk mengenal ada atau tidak adanya kebenaran ialah ada atau tidak adanya idea yang jelas dan terpilah-pilah mengenai sesuatu itu (idea clara et distincta).  Maka Descartes menganjurkan penerapan sikap kesangsian radikal sebagai alat uji bagi kebenaran.

3.   Patut dibahas langkah yang benar menuju kepada kebenaran pengetahuan (khususnya yang berkaitan dengan alam, termasuk manusia sebagai bagian dari alam). Misalnya, dalam meneliti gejala yang secara umum disebut "piring terbang" (kemungkinan kunjungan makhluk angkasa luar), "surga dan neraka" (benarkah ada?, dimana?), "kematian" (adakah hidup sesudah mati?, kemana jiwa manusia pergi?, apakah hanya di sekitar kita, tetapi kita tak mampu kontak dengannya?), metode apakah yang kiranya menjamin kebenaran pengetahuan yang dihasilkan?

Salah satu langkah yang patut dipertimbangkan adalah memanfaatkan metode logika deduktif, yang mengandalkan silogisme (penyimpulan).  Tanpa menyinggung bahan yang dipakai sebagai titik tolak penerapan metode ini, terhadap gejala-gejala alami, Francis Bacon (1561-1626) yakin bahwa metode ini tidak cukup membawa kepada kebenaran karena "kepelikan alam jauh lebih besar daripada kepelikan argumen".  Bacon, seperti halnya Galileo, memakai logika dalam rangka membentuk hipotesis, namun kebenaran masih harus diuji melalui pembuktian empiris.  Dengan lain perkataan langkah yang tepat adalah gabungan antara metode logika-deduktif dan logika-induktif.

Namun Hume (1711-1776) mengingatkan bahwa logika-induktif tidak memiliki dasar teoritis sama sekali, bahkan bertentangan dengan salah satu hukum logika, bahwa kesimpulan tidak dapat lebih luas daripada kedua premisnya.  Maka Hume menegaskan bahwa pengetahuan empiris tidak akan dapat melampaui  wilayah yang dicakup oleh data pengamatan yang terkumpul.

Sadar akan kritik Hume tersebut, Kant (1724-1804) sampai kepada pendirian, bahwa obyek itu sendiri ("das Ding an sich") tidak dapat dikenal manusia.  Yang bisa dikenal hanya yang terjadi dalam diri si pengenal, yaitu kesan-kesan yang diterimanya dari luar dan diatur ke dalam katagori-katagori a-priori akal budi.  Hukum-hukum alam hanya ada dalam diri manusia, sedang yang ada di luar manusia tidak akan diketahui oleh manusia.  Ini sejalan dengan Einstein, yang pada dasarnya menegaskan, bahwa "satu-satunya justifikasi bagi pengetahuan kita tentang alam raya, termasuk sistem-sistem dalam alam raya, ialah bahwa itu semua hanya merupakan akumulasi dari pengalaman kita; -- di luarnya kita tidak memiliki legitimasi."

Sepakat dengan Hume akan cacat dari metode induksi, John Stuart Mill (1806-1873) mengakui sahnya metode deduksi. Namun dari manakah pengetahuan premis mayor yang bersifat umum itu yang tidak didapatkan dari pengamatan?  Premis mayor yang hanya mengawang tanpa melalui pengamatan dan tanpa kepastian tidak ada gunanya.  Maka Mill mengusulkan suatu proses yang membawa premis mayor secara bertahap makin menjadi pasti.

Mustahilnya pembenaran atas proses induksi, membawa Karl Raimund Popper (1902-?) kepada prinsip falsifiabilitas: pada dasarnya hukum-hukum alam dapat dibuktikan salah. Pada dasarnya lebih mudah membuktikan kesalahan sebuah daripada membuktikan kebenarannya. Maka kebenaran hukum alam, teori atau pengetahuan hanya dapat dicapai melalui usaha pengujian sampai tidak ada alat uji yang mampu membuktikan kesalahan hukum alam, teori atau pengetahuan itu. Proses eliminasi yang makin keras mengurangi kadar kesalahan dan kekeliruan, dan dengan itu makin mendekati kebenaran obyektif.

Implisit, Popper menegaskan kesementaraan ilmu dan pengetahuan; sementara dalam arti bahwa ilmu pengetahuan itu terbuka untuk dibuktikan salah.  Jika tidak begitu, ilmu dan pengetahuan merosot menjadi ideologi (yang tertutup), dan itu, menurut Poper,  patut dikutuk sebagai berbahaya bagi umat manusia.

4.  Jika kita membatasi diri pada ilmu pengetahuan alam dan mencoba bertanya tentang realitas-realitas (sejauh itu dapat disebut realitas) "piring terbang", "surga dan neraka", "jin dan malaikat" dan sebagainya, mengapa ilmu pengetahuan kayaknya begitu terbatas kemampuannya?  Dengan peralatan canggih seperti dimiliki manusia dewasa ini mengapa hanya sedikit (itupun jika ada) yang dapat diperoleh? Apakah ada harapan dikemudian hari misteri yang menyelimuti realitas itu menjadi terungkap, dan kebenarannya (atau ketidak-benarannya) dengan tegas ditegakkan?

Patutlah dicermati bahwa khazanah pengetahuan kita tentang fisika (dan kimia) bertumpu pada teori tentang materi dan energi, ruang dan waktu.  Mengenai materi dapat disebut teori atom Niels Bohr, yang pada dasarnya menggambarkan atom sebagai terdiri atas inti atom dan elektron yang bergerak mengelilinginya dalam orbit-orbit yang pasti.  Energi (termasuk energi dalam transisi) digambarkan dalam wawasan ini.  Kitapun mengenal kesetaraan materi dan energi, yang pertama dicetuskan oleh Einstein.  Lalu apa itu materi, dan apakah pula energi?  Pertanyaan itu masih aktual dalam penelitian fisika dewasa ini.

Tinjaulah atom Hidrogen, yang hanya terdiri atas inti bermuatan positif dan satu elektron bermuatan negatif, dan tidak ada lainnya.  Perhitungan sederhana dengan hukum Coulomb membuat seorang kepada gambaran sebagai berikut:  Jika inti positif itu dibayangkan sebesar bola tenis yang berada di pusat kota Yogyakarta, maka elektron itu akan berupa kelereng yang mengelilinginya pada orbit sekitar 30 kilometer daripadanya (... di Klaten!).  Dapatkah dikatakan bahwa terdapat "ruang ketiadaan" diantara Yogya dan Klaten itu?  Maka apakah sebenarnya ruang-ketiadaan itu?  Tentulah bukan materi ...

Dalam konteks seperti itu jika dikatakan bahwa alam raya ini berkembang dari suatu Ledakan Besar pada suatu saat yang disebut awal penciptaan, menjadi seperti digambarkan oleh para astronom, -- apa makna semua itu?  Allah, Sang Pencipta semua ini, ada di mana?

Dalam konteks seperti itu pula dapat ditanyakan: pada hakekatnya apa itu roh?  Kelahiran kiranya dapat digambarkan.  Kematian dapat pula digambarkan, sekurang-kurangnya dari kenyataan inderawi tentang seseorang yang mati 1000 hari yang lalu dan kenyataannya sekarang jika kuburnya digali.  Namun apakah yang dapat dikatakan tentang roh, dan lebih khusus lagi roh orang itu?  Ada di mana rohnya?

Dengan bertanya  "di mana?"  pada dasarnya seorang telah memaksakan konsep fisika kepada gejala (jika boleh disebut demikian) yang bukan urusan fisika. Atau apakah gejala itu akan berada dalam wilayah ilmu fisika, suatu hari di masa depan?  Jawaban atas pertanyaan ini rasanya tidak dapat diberikan, juga oleh para fisikawan sendiri.  Kebenaran dalam pengetahuan kita akan alam raya (yang disebut fisika itu) tampak begitu terbatas.

5.  Apakah yang dapat dikatakan mengenai kebenaran dalam pengetahuan keagamaan?

Pada umumnya pengetahuan keagamaan bersumber dari sabda, karya dan perjuangan, serta kewibawaan sang pendiri atau para pendiri agama tersebut dihadapan Allah sebagai diakui dan diterima dengan ikhlas, bahkan pada tingkat percaya dan yakin, oleh umat pemeluk agama itu.  Rumusan umum ini  pastilah harus diberi kualifikasi yang lebih tepat dalam konteks agama tertentu; namun tiga hal harus dicatat atau garis bawahi. 

Pertama, diandaikan kehadiran Allah sebagai Sang Penjamin dan Sang Pembenar setiap sabda, karya perjuangan sang pendiri atau para pendiri agama tersebut.  Dalam persepsi umat agama itu Allah pastilah "aktor intelektual" dibalik setiap sabda dan karya itu, karena Allah memang memiliki rencana atau kehendak tertentu kepada umatNya. Fakta itu harus dihormati. Namun dalam paradigma ilmu sebagai hasil usaha ilmiah (yang rasional yang bersifat logis, sistematis dan efisien menuju kepada kebenaran ilmiah), Allah dapat saja dimasukkan dalam katagori obyek studi atau obyek yang harus dikenali dalam usaha rasional untuk memperkaya (yaitu mengembangkan, meneguhkan dan memurnikan) khazanah pengetahuan keagamaan agama yang bersangkutan.  Dalam konteks ini juga harus diterima bahwa ada lembaga "fatwa" dengan "kuasa untuk mengajar" dalam lingkungan agama tersebut.  Dapat saja hasil usaha rasional ilmuwan pengetahuan itu konflik dengan "fatwa" pada saat itu; jika itu terjadi ... tidak banyak yang dapat dikatakan. Mengenai kejujuran ilmiah dan ketulusan hati, hanya Allah yang maha tahu.  Mengaca dari sejarah, ternyata ada ilmuwan yang memang lahir dan hidup seakan mendahului jamannya.

Kedua, harus diterima juga bahwa ada unsur-unsur (misalnya "peristiwa", yaitu yang melibatkan unsur tempat dan waktu di masa lalu) dalam obyek yang dikenali (sekurang-kurangnya sekarang ini)  bersifat supranatural. Peristiwa Isra' dan Mi'raj Nabi Muhammad (dalam tradisi Islam) dan peristiwa kebangkitan Yesus dari mati (dalam tradisi Kristiani) pantas dimasukkan dalam katagori itu. Historisitasnya dapat saja dikaji secara ilmiah, demikian juga kepastiannya.  Namun dalam hal ini jangan berharap memperoleh kebenaran ontologis melalui refleksi rasional, sekarang atau di masa depan, karena kebenaran logis pada akhirnya hanya berasal dalam kewibawaan dokumen  (termasuk juga kewibawaan Pemberi Dokumen).

Ketiga, patut dicermati adanya unsur sejarah yang berhubungan dengan sang pendiri atau para pendiri. Dalam hal ini sumbangan fikiran Norman Perrin patut diperhatikan.

Perrin membedakan tiga macam pengetahuan.  Yang pertama disebut "descriptive historical knowledge".  Pengetahuan mengenai hal ini pada umumnya tidak mudah dicapai.  Sering hal itu berangkal dari kesulitan mengerti katagori pengertian pada waktu itu oleh manusia masa kini, yang mencernanya dalam konteks sosio-kultural-mental masa kini Apakah ada metode sejarah yang pantas untuk mencapai kebenaran pada taraf ini? -- Sadar akan keterbatasan akal budi, metode itu rasanya tidak pernah ada. 

Sekalipun dapat diberikan kepastian status dari "historical knowledge" tersebut, kiranya lebih penting untuk menyerap pesan utama dari "historical knowledge" itu dan mengikhtiarkan penerapannya yang tepat untuk persoalan aktual masa kini.

"Descriptive historical knowledge" dalam situasi tertentu berkembang menjadi "historic knowledge", yaitu karena dampak nyata peristiwa itu pada subyek masa kini.  Jelas bahwa "historic knowledge" tergantung kepada "historical knowledge".  Namun "historic knowledge" sering mengalami "idealisasi" atau "idolisasi" (istilah A Toynbee) terutama jika berkaitan dengan sang pendiri atau para-pendiri. Sekalipun  itu sangat perlu, makin idealisasi itu menjauhkan ilmuwan dari usaha untuk menegakkan kebenaran berdasarkan evidensi historis.

Akhirnya adalah "faith-knowledge", yaitu katagori pengetahuan yang hanya memiliki signifikansi dalam konteks kekhususan iman kepercayaan dalam agama yang bersangkutan.  "Faith-knowledge" dapat saja tidak bergantung pada, atau berasal dari,  "historical knowledge" (apapun yang sekarang dimiliki/diketahui mengenai hal itu).  Dalam dunia keagamaan, dapat saja "faith-knowledge" berasal, misalnya, dari "myth", legenda atau apa saja.

Mengakhiri kursus kecil ini pantaslah dibaca ayat 37 (yang mendahului ayat) dalam naskah Injil Yohannes yang dikutip dimuka. Maka kata Pilatus kepadaNya: "Jadi Engkau adalah raja?" Jawab Yesus: "Engkau mengatakan, bahwa Aku adalah raja.  Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang kebenaran:  setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suaraKu".

Kiranya itulah yang pantas dikerjakan oleh para ilmuwan ... memberi kesaksian tentang kebenaran.  Modalnya adalah kejujuran dalam niat dan tindakan, serta ketulusan hati.  Landasannya adalah kerelaan untuk menerima kenyataan bahwa akal manusia terbatas.  Manusia ibarat debu sederhana dalam jagad raya yang tak kelihatan ada batasnya.  Manusia pun ibarat ikan teri yang mengembara di samudera Pasifik dan yang bersemangat besar untuk menjelajahinya.  Jika dengan akalnya ia ingin mengungkap realitas, bagaimana dengan otak sebesar otak ikan teri itu ia dapat memetakan batas-batas samudera Pasifik? Semua yang mengenal matematika tahu bahwa yang tak terhingga tidak akan dapat dinyatakan dalam deretan angka, namun harus diberi simbul tersendiri. Dalam kesadaran itu (= dalam pengetahuan itu), dengan sikap iman penuh taqwa, pantaslah manusia (termasuk para ilmuwan) memuji keagungan Allah, Sang Sangkan - Paraning Dumadi, dalam kidung Mazmur 8 yang telah dikutip dimuka:

“Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulianya namaMu diseluruh bumi! KeagunganMu yang mengatasi langit dinyanyikan.
Mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu berbicara bagiMu, membungkam musuh dan lawanMu.
Jika aku melihat langitMu, buatan jariMu, bulan dan bintang yang Kautempatkan;
apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Siapakah dia sehingga Engkau mengindahkannya?
Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.
Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tanganMu; segalanya telah Kauletakkan dibawah kakinya:
kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang;
burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan.
Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulia namaMu di seluruh bumi!”

6.  Refleksi atas Mazmur 8.  Mazmur ini merupakan kidung pujian bagi Allah Pencipta yang telah memahkotai manusia dengan "kemuliaan dan hormat".  Pemazmur yakin bahwa manusia, tak berbeda dengan alam semesta, adalah ciptaan Allah, sekalipun ciptaan yang istimewa: ia yang dibentuk dari bagian bumi, namun diberi hidup dengan roh yang dihembuskan kepadanya, bersifat illahi. "Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tanganMu; segalanya telah Kauletakkan di bawah kakinya".  Dalam relasi manusia dengan seluruh alam ciptaan, serta dalam relasi manusia dengan Allah, nyatalah betapa manusia menjadi cermin kemuliaan dan keagungan Allah Pencipta. Pada manusia ada daya cipta, rasa dan karsa yang merupakan anugerah yang dapat digunakan dengan bebas.  Maka jika dalam tradisi Perjanjian Lama ada larangan keras untuk membuat gambaran (berhala) Allah, kiranya itu juga dimaksudkan agar manusia mendapatkan gambaran akan kemuliaan Allah itu dalam dirinya sendiri, dan bukan dalam gambaran buatan tangannya.

"Apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya; siapakah manusia sehingga Engkau mengindahkannya?"  Itulah awal dari refleksi menuju kepada tanggung-jawab manusia di bumi, di hadapan Allah, yang telah menciptakan manusia "hampir sama seperti Allah".  Kendati nyata sifat keduniawiannya, manusia nampaknya memiliki bagian juga dalam wibawa dan kuasa Illahi. [Disini manusia dihadapkan kepada situasi yang membuatnya dengan mudah jatuh di lembah dosa kecongkakan atau shirik merampas seluruh wibawa dan kuasa Allah seakan-akan itu miliknya sendiri].

Memuji Allah dengan berkata "apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya; siapakah manusia sehingga Engkau mengindahkannya?" adalah mengungkapkan iman. Iman itu harus dikonkretkan dalam perbuatan sehar-hari manusia itu dalam relasi dengan keluarga dan lingkungannya. Sebab iman tanpa perbuatan tak ada artinya. -- Apakah manusia menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus), atau manusia menjadi keselamatan bagi sesamanya (homo homini salus). Apakah kehadiran manusia di bumi menjadi rakhmat bagi seluruh alam, atau menjadi sumber bencana dan kemusnahan seluruh alam ciptaan? 

Ketulusannya untuk mewujudkan hidup dalam damai-sejahtera dengan semua orang dan semua ciptaan harus menjadi alasan baginya untuk mengkidungkan pujian meriah: Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulia namaMu di seluruh bumi!”














0 komentar:

Posting Komentar